Bone, Mitrabuser.com, Sudah lebih dari sepekan sejak penembakan brutal terhadap pengacara Rudi S Gani di Bone, Sulawesi Selatan. Namun, sampai hari ini, pelaku masih belum terungkap. Apakah ini menjadi cermin dari lemahnya penegakan hukum kita?
Kapolres Bone memang mengklaim telah memeriksa 18 saksi dan menyita 11 senapan angin dari warga, namun belum satu pun hasil konkret diumumkan. Apakah ada kendala teknis yang dirahasiakan, atau ini justru menunjukkan ketidakseriusan aparat dalam menangani kasus yang sudah mengguncang rasa aman masyarakat?
Rudi S Gani ditembak di kantornya, saat makan malam bersama keluarga. Tak ada saksi yang bisa memberikan petunjuk mengarah ke pelaku. Apakah pelakunya begitu profesional, atau justru ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi?
Masyarakat mulai mempertanyakan: apakah hukum kalah oleh tekanan? Apakah ada kepentingan yang bermain? Sampai kapan keluarga korban harus menanti keadilan yang belum tentu datang?
Seorang siswi MTs berinisial J (14) menjadi korban rudapaksa dan akhirnya meninggal dunia di Kecamatan Cenrana. Pelaku utama hingga kini belum tertangkap, meski seorang siswa sempat ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Proses hukum berjalan lambat. Di mana keberpihakan negara terhadap anak-anak korban kekerasan seksual? Apakah perlindungan hukum terhadap anak hanyalah jargon tanpa implementasi?
Tragedi ini tak sekadar menyisakan duka bagi keluarga korban, tapi juga menjadi noda dalam catatan perlindungan anak di Bone.
Bripda MNF (23), seorang anggota Polres Bone, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemerkosaan dan penganiayaan terhadap pacarnya yang masih berusia 15 tahun. Tindakan ini menjadi tamparan keras terhadap citra kepolisian.
Pertanyaannya: akankah kasus ini diusut secara transparan dan tuntas? Atau justru akan dilindungi oleh tembok tebal institusi?
Korban perlu mendapat pendampingan hukum, psikologis, dan sosial secara menyeluruh. Jika dibiarkan begitu saja, ini akan memperpanjang daftar hitam kekerasan seksual oleh aparat dan memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap kepolisian.
Empat tersangka telah ditetapkan dalam kasus dugaan korupsi proyek irigasi di Bone. Namun hingga kini, belum satu pun yang disidangkan. Jaksa beralasan masih memeriksa saksi.
Apakah ini bentuk kelambanan biasa, atau ada intervensi di balik layar? Proyek irigasi menyentuh hajat hidup petani dan masyarakat kecil. Seharusnya penanganan kasus ini menjadi prioritas.
Keterlambatan proses hukum justru memunculkan kecurigaan publikβbahwa hukum hanya berlaku cepat ketika menyentuh masyarakat biasa, tapi tumpul ketika menyentuh kalangan berkuasa.
Kasus dugaan perselingkuhan antara oknum polisi berinisial AS dan seorang ASN Dinas Kesehatan Bone kembali mengusik kepercayaan publik terhadap aparat negara. Laporan telah diajukan ke Propam dan BKPSDM.
Namun, akankah kasus ini benar-benar ditangani secara serius dan transparan, atau hanya selesai di meja administrasi?
Aparat dan ASN seharusnya menjadi teladan moral, bukan justru terlibat dalam skandal yang merusak citra institusi.
Saya berharap Kabupaten Bone bisa kembali menjadi daerah yang aman, adil, dan beradab. Hukum seharusnya melindungi rakyat, bukan menakut-nakuti atau melindungi pelaku yang punya kuasa.
Setiap kasusβbaik penembakan, rudapaksa, kekerasan aparat, korupsi, maupun pelanggaran etikaβharus diusut secara tuntas, transparan, dan tanpa tebang pilih. Ini bukan semata-mata tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang keberpihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik.
Bone butuh pemimpin berhati nurani. Bone butuh aparat bermoral. Bone butuh keadilan, bukan sekadar janji.
(DN)